{"id":1226,"date":"2021-02-24T13:16:00","date_gmt":"2021-02-24T06:16:00","guid":{"rendered":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/?p=1226"},"modified":"2021-02-24T13:16:02","modified_gmt":"2021-02-24T06:16:02","slug":"cerita-dirut-wika-yang-punya-bisnis-sapi-beromzet-rp-16-triliun-setahun","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/cerita-dirut-wika-yang-punya-bisnis-sapi-beromzet-rp-16-triliun-setahun\/","title":{"rendered":"Cerita Dirut WIKA yang Punya Bisnis Sapi Beromzet Rp 1,6 Triliun Setahun"},"content":{"rendered":"

Penulis Akhdi Martin Pratama | Editor Bambang Priyo Jatmiko JAKARTA, KOMPAS.com \u2014 Berinvestasi tampaknya sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang, tak terkecuali bagi Tumiyana. Direktur Utama PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) itu memiliki investasi yang bisa jadi berbeda di eksekutif lain. Pria kelahiran 1965 ini tidak masuk ke instrumen investasi portfolio, seperti saham, obligasi, dan emas. Orang nomor satu di WIKA itu memilih berinvestasi di bisnis peternakan sapi. Dia memulai bisnis tersebut sejak 1995. Untuk modal pertama, dia meminjam uang Rp 200 juta ke perbankan. Uang tersebut dia gunakan untuk membeli 16 sapi. Setelah 24 tahun menggeluti bisnis tersebut, sapi milik Tumiyana kini berjumlah lebih dari 38.000 ekor. \u201cDi rumah, saya jualan sapi. Market share nasional 22 persen,\u201d ujar Tumiyana di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (6\/9\/2019). Pundi-pundi uang Tumiyana mengalir deras dari bisnis perternakan sapi itu. \u201cSetahun penjualan itu bisa mencapai Rp 1,6 triliun,\u201d kata mantan Direktur Utama PT PP itu<\/p>\n

Diversifikasi Bisnis<\/span><\/div>\n
\n

Sementara itu mengutip Kontan.co.id, selain bisnis ternak sapi, Tumiyana merambah ke bisnis komoditas, seperti beras. Hal ini dilakoninya sejak beberapa tahun lalu. Kebutuhan masyarakat Indonesia yang tinggi akan beras membuatnya tertarik untuk masuk ke bisnis makanan pokok ini. Walau s udah masuk ke bisnis pertanian, pria 52 tahun ini tetap menjadikan sapi sebagai bisnis favorit. \u201cSaya tidak terlalu berani bermain saham. Fluktuasinya kan tinggi, sementara saya ada kegiatan rutin di kantor sehingga saya cari yang bisa dilepas saja, seperti ternak sapi,\u201d tutur pria yang akrab disapa Pak Tum oleh karyawannya di kantor itu<\/p>\n

\n

Bermain di sektor riil tak membuat Pak Tum mengategorikan diri sebagai investor konservatif. Tumiyana mengaku ia termasuk kategori investor agresif lantaran selalu memiliki leverage diri yang tinggi. Ia pun menyarankan investor baru sebaiknya mulai mencari tantangan. Hidup ini bagaikan kurva parabola. \u201cSaat menjelang turun di titik puncak, kita harus terus bangun kurva kedua supaya semuanya bisa sustain. Kita harus terus berkembang dengan mencari tantangan baru agar terus bisa bertahan,\u201d kata Tumiyana.<\/p>\n<\/div>\n<\/div>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Penulis Akhdi Martin Pratama | Editor Bambang Priyo Jatmiko JAKARTA, KOMPAS.com \u2014 Berinvestasi tampaknya sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang, tak terkecuali bagi Tumiyana. Direktur Utama PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) itu memiliki investasi yang bisa jadi berbeda di eksekutif lain. Pria kelahiran 1965 ini tidak masuk ke instrumen investasi portfolio, seperti saham, obligasi, dan […]<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":1228,"comment_status":"closed","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"_et_pb_use_builder":"off","_et_pb_old_content":"","_et_gb_content_width":"","footnotes":""},"categories":[2],"tags":[],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1226"}],"collection":[{"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=1226"}],"version-history":[{"count":1,"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1226\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":1229,"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1226\/revisions\/1229"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/1228"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=1226"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=1226"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/ft.borobudur.ac.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=1226"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}